Hadis: Kewajiban Mengumumkan Pernikahan
Teks Hadis
Dari Amir bin Abdullah bin Zubair, dari ayahnya, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَعْلِنُوْا النِّكَاحَ
“Umumkanlah pernikahan.” (HR. Ahmad 26: 53 dan Al-Hakim 2: 183. Sanadnya dinilai hasan oleh Al-Al-Albani. Lihat Adabuz Zifaf, hal. 112)
Hadis ini juga memiliki penguat, di antaranya hadis yang diriwayatkan dari Muhammad bin Khatib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَرَامِ وَالْحَلَالِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ
“Perbedaan antara yang diharamkan (zina) dan yang dihalalkan (pernikahan) ialah dengan memukul rebana dan suara.” (HR. Tirmidzi no. 1088, An-Nasa’i 6: 127, Ibnu Majah no. 1896, dan Ahmad 24: 189. Dinilai hasan oleh Al-Albani.)
Yang dimaksud dengan “suara” adalah nyanyian yang mubah. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 4: 209)
Kandungan Hadis
Hadis ini merupakan dalil wajibnya mengumumkan atau menyiarkan pernikahan. Hal ini untuk menampakkan kegembiraan dan untuk membedakannya dengan nikah sirri. Sehingga berita bahwa seorang laki-laki (fulan) telah menikahi seorang perempuan (fulanah) menjadi tersebar dan terdapat hubungan pernikahan antara dua keluarga tersebut. Di antara sarana untuk mengumumkan (menyebarluaskan) pernikahan adalah dengan menampakkannya saat akad nikah, iring-iringan antaran saat laki-laki menemui sang pengantin wanita (sebagaimana adat kebiasaan masyarakat jaman dahulu dan sekarang), memukul rebana, dan sarana-sarana lainnya.
Di antara sarana syar’i untuk mengumumkan pernikahan adalah dengan memukul rebana dan menyelenggarakan walimah (walimatul ‘ursy). Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab di kitab Shahih beliau,
ضَرْبِ الدُّفِّ فِي النِّكَاحِ وَالوَلِيمَةِ
“Bab memukul rebana saat pernikahan dan walimah.”
Kemudian beliau membawakan riwayat dari jalur Khalid bin Dzakwan, beliau berkata, Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afran berkata,
جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا، يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ
“Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian anak-anak perempuan pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar. Lalu salah seorang dari mereka pun berkata, “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.”
Mendengar ucapan itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
دَعِي هَذِهِ، وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ
“Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan.” (HR. Bukhari no. 5147)
Al-Muhallab rahimahullah berkata, “Di dalam hadis ini terdapa dalil (bolehnya) mengumumkan pernikahan dengan (memukul) rebana dan juga nyanyian yang mubah.” (Fathul Bari, 9: 203)
Memukul rebana pada saat pernikahan dan walimah harus memiliki aturan (ketentuan) supaya prakteknya tidak menimbulkan keburukan sehingga mafsadahnya justru lebih besar daripda maslahatnya. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah,
Pertama, memukul rebana itu khusus untuk perempuan saja, bukan untuk laki-laki. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis-hadis yang kuat (dalam masalah ini) menunjukkan adanya ijin untuk perempuan, sehingga bukan untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil umum tentang larangan tasyabbuh laki-laki dengan kaum wanita.” (Fathul Bari, 9: 226)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ketika nyanyian dan memukul rebana atau telapak tangan (tepuk tangan) itu termasuk perbuatan kaum wanita, maka ulama salaf terdahulu menyebut siapa saja yang melakukannya dengan sebutan mukhannats (kewanita-wanitaan, tidak jantan, pent.), dan menyebut laki-laki yang menyanyi dengan sebutan makhaanits. Ini adalah ungkapan yang masyhur (terkenal) dari mereka.” (Majmu’ Al-Fatawa, 11: 565-566)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Rebana yang diperbolehkan hanyalah jika tidak ada semacam lonceng kecil (jalajil) atau sejenisnya yang bisa menimbulkan suara, menurut mayoritas ulama. Hal ini ditegaskan oleh Imam Ahmad dan ulama-ulama yang lain, sebagaimana hal ini merupakan rebana yang terdapat pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejumlah ulama mutaakhirin (belakangan) dari madzhab kami memberikan keringanan secara mutlak ketika walimah dan lainnya, namun (hanya khusus) untuk perempuan dan bukan untuk laki-laki.” (Nuzhatul Asma’ fi Mas’alatis Sama’, yang terdapat dalam kumpulan kitab karya beliau, 2: 454)
Kedua, memukul ringan yang tidak sampai menimbulkan suara hentakan yang mengganggu, baik bagi orang-orang yang menghadiri walimah maupun tetangga di sekitarnya. Adapun jika sampai menggunakan pengeras suara, diperdengarkan kepada kaum laki-laki, dan mengganggu masyarakat sekitar sehingga mereka tidak bisa tidur atau istirahat, maka tidak diragukan lagi tentang keharamannya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil umum tentang terlarangnya mengganggu (menyakiti) kaum muslimin.
Ketiga, memukul rebana tersebut tidak disertai dengan qasidah (nyanyian) yang mengandung unsur lawakan atau mengumbar (membangkitkan) syahwat (hawa nafsu), sebagaimana lagu-lagu yang didendangkan oleh para penyanyi pada umumnya. Jika mengandung unsur hikmah dan nasihat, dan menunjukkan suasana kegembiraan, maka tidak mengapa.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Rebana mereka (kaum jahiliyah) hanyalah seperti saringan tepung yang melingkar. Nyanyian mereka sekadar melantunkan sya’ir-sya’ir jahiliyah di hari-hari peperangan atau semacam itu. Suatu kesalahan besar ketika hal itu dianalogikan dengan mendengarkan sya’ir-sya’ir percintaan (gazal) yang diiringi rebana bergemerincing. Orang yang mengamini analogi itu justru menyamakan antara kasus pokok dan kasus cabang, padahal ada perbedaan besar di antara keduanya.” (Nuzhah al-Asma’ fi Masalah as-Sama’, 1: 448)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hukum asalnya menjauh dari main-main dan senda gurau. Sehingga kita hanya membatasi diri pada sesuatu yang ada dalilnya pada waktu tertentu dan dengan tata cara tertentu. Hal ini dalam rangka meminimalisir penyelisihan terhadap hukum asal.” (Fathul Baari, 2: 443)
Keempat, tidak sampai larut malam, karena akan menimbulkan mafsadah yang besar, seperti begadang dan juga ketinggalan salat subuh, juga menghabiskan malam hanya dengan main-main saja. Dan sayangnya, inilah yang terjadi pada pesta pernikahan saat ini, sampai-sampai memakai pengeras suara yang kencang, menghabiskan semalam suntuk dengan makan, minum, dan menyanyi. Maka hal ini tidaklah diragukan tentang haramnya, karena bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum syar’i, dan juga karena menimbulkan berbagai macam kerusakan. Wallahul musta’an.
***
@17 Zulkaidah 1445/ 25 Mei 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel asli: https://muslim.or.id/95429-kewajiban-mengumumkan-pernikahan.html